Jumat, 19 Agustus 2016

Amtsal Al-Qur'an



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam yang berisi firman-firman Allah SWT, yang diwahyukan dalam bahasa arab kepada Nabi Muhamad dan membacanya bernilai ibadah. Al-Qur’an berfungsi sebagai petunjuk atau pedoman bagi umat manusia dalam mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Setiap muslim tentu menyadari bahwa Al-Qur’an adalah kitab suci yang merupakan pedoman hidup dan dasar setiap langkah hidup. Al-Qur’an bukan hanya sekedar mengatur hubungan antara manusia dengan Allah SWT, tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan manusia serta dengan lingkungannya.
Dalam Al-Qur’an banyak terdapat ayat-ayat yang menceritakan hal-hal yang samar dan abstrak. Manusia tidak mampu mencernanya jika hanya mengandalkan akalnya saja. Sehingga seringkali ayat-ayat tersebut diperumpamakan dengan hal-hal yang konkret agar manusia mampu memahaminya. Untuk memahami itu semua maka ulama tafsir menganggap perlu adanya ilmu yang menjelaskan tentang perumpamaan dalam Al-Qur’an yaitu Ilmu Al-Amtsal Al-Qur’an.

B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas dapat diketahui rumusan masalah sebagai berikut :
1.      Apa pengertian Amtsal Al-Qur’an ?
2.      Bagaimana sejarah Amtsal Al-Qur’an ?
3.      Apa saja macam-macam Amtsal Al-Qur’an ?
4.      Apa saja Rukun-rukun Amtsal Al-Qur’an ?
5.      Apa faedah-faedah Amtsal Al-Qur’an ?


C.    Tujuan
Dari rumusan masalah di atas dapat diketahui tujuan pembuatan makalah adalah untuk mengetahui :
1.                     Pengertian Amtsal Al-Qur’an.
2.                     Sejarah Amtsal Al-Qur’an.
3.                     Macam-macam Amtsal Al-Qur’an.
4.                     Rukun-rukun Amtsal Al-Qur’an.
5.                     Faedah-faedah Amtsal Al-Qur’an.























BAB II
PEMBAHASAN
1.   Pengertian Amtsal Al-Qur’an
Amtsâl(أمثال)  adalah bentuk jamak dari matsal (مثل) . Kata matsal, mitsl, dan matsil sama dengan syabah, syibh, dan syabih (semakna) baik lafadz maupun maknanya.[1] Matsal dimaknakan dengan keadaan, kisah dan sifat yang menarik perhatian, menakjubkan, seperti firman Allah SWT :
مَّثَلُ الْجَنَّةِ الَّتِي وُعِدَ الْمُتَّقُونَ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الأَنْهَارُ أُكُلُهَا دَآئِمٌ وِظِلُّهَا تِلْكَ عُقْبَى الَّذِينَ اتَّقَواْ وَّعُقْبَى الْكَافِرِينَ النَّارُ(الرعد : ۳۵)-
Artinya : “Perumpamaan surga yang dijanjikan kepada orang yang bertakwa (ialah seperti taman), mengalir di bawahnya sungai-sungai; senantiasa berbuah dan teduh. Itulah tempat kesudahan bagi orang yang bertakwa; sedang tempat kesudahan bagi orang yang ingkar kepada Tuhan ialah neraka”.
Di  dalam ilmu Adab (sastra), matsal diartikan dengan :
قَوْلٌ مَحْكِيٌّ سَائِرٌ يُقْصَدُ مِنْهُ تَشْبِيْهُ حَالِ الَّذِى حُكِيَ فِيْهِ بِحَالِ الَّذِى قِيْلَ لأَجْلِهِ.
“Suatu ungkapan perkataan yang dihikayatkan dan sudah berkembang (populer) yang dimaksudkan dari, menyerupakan keadaan orang yang dihikayatkan padanya dengan keadaan orang yang matsal itu dibicarakan”. Seperti :
رُبَّ رَمْيَةٍ مِنْ غيْرِ رَامٍ.
“Betapa banyak lemparan panah yang mengena tanpa sengaja”. Artinya, betapa banyak lemparan panah yang mengenai sasaran itu dilakukan seorang pelempar yang biasanya tidak tepat lemparannya. Orang pertama yang mengucapkan matsal ini adalah al-Hakam bin Yagus an-Nagri. Matsal ini ia katakana kepada orang yang biasanya berbuat salah yang kadang-kadang ia berbuat benar. Atas dasar ini, matsal harus mempunyai maurid (sumber) yang kepadanya sesuatu yang lain diserupakan.
                 Kata matsal digunakan pula untuk menunjukkan arti :keadaan” dan “kisah yang menakjubkan”. Dengan pengertian inilah ditafsirkan kata-kata “matsal” dalam sejumlah besar ayat.[2] Misalnya firman Allah :
مَثَلُ الْجَنَّةِ الَّتِي وُعِدَ الْمُتَّقُونَ فِيهَا أَنْهَارٌ مِّن مَّاء غَيْرِ آسِنٍ وَأَنْهَارٌ مِن لَّبَنٍ لَّمْ يَتَغَيَّرْ طَعْمُهُ....(محمد : ١۵)
"Perumpamaan taman surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertaqwa; disana ada sungai-sungai yang airnya tidak payau, dan sungai-sungai air susu yang tidak berubah rasanya”.
Maksudnya, kisah dan sifat surga yang sangat mengagumkan.
                 Zamakhsyari telah mengisyaratkan akan ketiga arti ini dalam kitabnya, al-Kasysyâf. Ia berkata : Matsal menurut asal perkataan mereka berarti al-mitsl dan an-nazir (yang serupa, yang sebanding). Kemudian setiap perkataan yang berlaku, popular, yang menyerupakan sesuatu (orang, keadaan dan sebagainya) dengan “maurid” (atau apa yang terkandung dalam) perkataan itu disebut matsal. Mereka tidak menjadikan sebagai matsal dan tidak memandang pantas untuk dijadikan matsal yang layak diterima dan dipopulerkan kecuali perkataan yang mengandung keanehan dari beberapa segi. Dan, katanya lebih lanjut, “matsal” dipinjam (dipakai secara pinjaman) untuk menunjukkan keadaan, sifat, atau kisah jika ketiganya dianggap penting dan mempunyai keanehan.
                 Masih terdapat makna lain, yakni makna keempat dari matsal menurut ulama Bayan. Menurut mereka, matsal adalah majâz murakkab yang ‘alâqahnya musyâbahah jika penggunaannya telah populer. Majaz ini pada asalnya adalah isti’ârah tamtsiliyah, seperti kata-kata yang diucapkan terhadap orang yang ragu-ragu dalam melakukan suatu urusan[3] :
رجلا وتؤخر اخرى   مالي اراك تقدم
 (Mengapa aku lihat engkau melangkahkan satu kaki dan mengundurkan kaki yang lain ?).
                 Dikatakan pula, definisi matsal ialah menonjolkan sesuatu makna (yang abstrak) dalam bentuk yang indrawi agar menjadi indah dan menarik. Dengan pengertian ini maka matsal tidak disyaratkan harus mempunyai maurid sebagaimana tidak disyaratkan pula harus berupa majâz murakkab.
                 Apabila memperhatikan matsal-matsal Qur’an yang disebutkan oleh para pengarang, kita dapatkan bahwa mereka mengemukakan ayat-ayat yang berisi penggambaran keadaan suatu hal dengan keadaan hal lain, baik penggambaran itu dengan cara isti’ârah maupun dengan tasybih sarih (penyerupaan yang jelas), atau ayat-ayat yang menunjukkan makna yang menarik dengan redaksi ringkas dan padat, atau ayat-ayat yang dapat dipergunakan bagi sesuatu yang menyerupai dengan apa yang berkenaan dengan ayat itu. Sebab, Allah mengungkapkan ayat-ayat itu secara langsung, tanpa sumber yang mendahuluinya.
                 Dengan demikian, maka amtsâl Qur’an tidak dapat diartikan dengan arti etimologis, asy-syabih dan an-nazir. Juga tidak tepat diartikan dengan pengertian yang disebutkan dalam kitab-kitab kebahasaan yang dipakai oleh para penggubah matsal-matsal, sebab amtsal Qur’an bukanlah perkataan-perkataan yang dipergunakan untuk menyerupakan sesuatu dengan isi perkataan itu. Juga tidak tepat diartikan dengan arti matsal menurut ulama Bayan, karena di antara amtsal Qur’an ada yang bukan isti’ârah dan penggunaannya pun tidak begitu populer. Oleh karena itu, maka definisi terakhir lebih cocok dengan pengertian amtsal dalam Qur’an. Yaitu, menonjolkan makna dalam bentuk (perkataan) yang menarik dan padat serta mempunyai pengaruh mendalam terhadap jiwa, baik berupa tasybih ataupun perkataan bebas (lepas, bukan tasybih).
                 Ibnul Qayyim mendefinisikan amtsal Qur’an dengan “menyerupakan sesuatu dengan sesuatu yang lain dalam hal hukumnya, dan mendekatkan sesuatu yang abstrak (ma’qul) dengan yang indrawi (konkrit, mahsus), atau mendekatkan salah satu dari dua mahsus dengan yang lain dan menganggap salah satunya itu sebagai yang lain”.[4]
                 Lebih lanjut ia mengemukakan sejumlah contoh. Contoh-contoh tersebut sebagian besar berupa penggunaan tasybih sarih, seperti firman Allah:
(يونس : ۲٤)   إِنَّمَا مَثَلُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا كَمَاء أَنزَلْنَاهُ مِنَ السَّمَاء.....
“Sesungguhnya matsal kehidupan duniawi itu adalah seperti air (hujan) yang Kami turunkan dari langit”. (Yunus[10]:24). Sebagian lagi berupa penggunaan tasybih dimni (penyerupaan secara tidak tegas, tidak langsung), misalnya :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيراً مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضاً أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتاً فَكَرِهْتُمُوهُ .....(الحجرات : ١۲)
“Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang dari kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya”. (al-Hujurat [49]:12). Dikatakan dimni karena dalam ayat ini tidak terdapat tasybih sarih. Dan ada pula yang tidak mengandung tasybih maupun isti’ârah, seperti firman-Nya :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ ضُرِبَ مَثَلٌ فَاسْتَمِعُوا لَهُ إِنَّ الَّذِينَ تَدْعُونَ مِن دُونِ اللَّهِ لَن يَخْلُقُوا ذُبَاباً وَلَوِ اجْتَمَعُوا لَهُ وَإِن يَسْلُبْهُمُ الذُّبَابُ شَيْئاً لَّا يَسْتَنقِذُوهُ مِنْهُ ضَعُفَ الطَّالِبُ وَالْمَطْلُوبُ (الحج : ٧۳)
“Wahai manusia, telah dibuat sebuah perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalatpun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tidaklah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah’. (al-Hajj [22]:73). Firman-Nya, “sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalat pun: oleh Allah disebut dengan matsal padahal di dalamnya tidak terdapat isti’ârah maupun tasybih.
2.      Sejarah Amtsal Al-Qur’an
Orang yang pertama kali mengarang Ilmu Amtsal Al-Qur’an ialah  Syekh Abdur Rahman Muhammad bin Husein An-Naisaburi (wafat 406 H) dan dilanjutkan oleh Imam Abul Hasan Ali bin Muhammad Al-Mawardi (wafat 450 H). kemudian dilanjutkan Imam Syamsuddin Muhammad bin Abi Basrin Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyyah (wafat 754 H).[5]
3.      Macam-macam Amtsal dalam Al-Qur’an
Amtsal di dalam Qur’an ada tiga macam[6] :
a.       Amtsal yang tegas (Musharrahah)
Adalah amtsal yang di dalamnya dijelaskan dengan lafadz matsal atau sesuatu yang menunjukkan tasybih.
Di antaranya perumpamaan yang Allah berikan terhadap orang-orang munafik dalam surat Al-Baqarah. Di dalam ayat-ayat ini Allah membuat dua perumpamaan bagi orang munafik. Pertama, perumpamaan yang berhubungan dengan api. Dan yang kedua perumpamaan yang berhubungan dengan air. Dan Allah membuat dua perumpamaan pula, perumpamaan yang berhubungan dengan air dan perumpamaan yang berhubungan dengan api dalam surat Ar-Ra’d.
b.      Amtsal yang tersembunyi (Kâminah)
Adalah amtsal yang di dalamnya tidak disebutkan dengan jelas lafadz tamsil (pemisalan) tetapi ia menunjukkan makna-makna yang indah, menarik, dalam kepadatan redaksinya, dan mempunyai pengaruh tersendiri bila dipindahkan kepada yang serupa dengannya.
Contoh ayat yang senada dengan perkataan :
خَيْرُالأُمُوْرِ الْوَسَطُ
“Sebaik-baik urusan ialah yang seimbang”.
Ialah firman Allah :
قَالُواْ ادْعُ لَنَا رَبَّكَ يُبَيِّن لّنَا مَا هِيَ قَالَ إِنَّهُ يَقُولُ إِنَّهَا بَقَرَةٌ لاَّ فَارِضٌ وَلاَ بِكْرٌ عَوَانٌ بَيْنَ ذَلِكَ فَافْعَلُواْ مَا تُؤْمَرونَ (البقرة :٦٨ )
Artinya : Mereka berkata, “Mohonkanlah kepada Tuhan-mu untuk kami agar Dia Menjelaskan kepada kami tentang (sapi betina) itu.” Dia (Musa) menjawab, “Dia (Allah) Berfirman, bahwa sapi betina itu tidak tua dan tidak muda, (tetapi) pertengahan antara itu. Maka kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu.” (QS.Al-Baqarah [2] : 68)
c.       Amtsal yang terlepas (Mursalah)
Adalah kalimat-kalimat yang disebut secara terlepas tanpa ditegaskan lafal tasybih. Tetapi dapat dipergunakan untuk tasybih.
... الئنَ حَصْحَصَ الْحَقُّ ...(يوسف : ۵١ )
Artinya : “...Sekarang ini jelaslah kebenaran itu... “ (QS.Yusuf [12] : 51)
4.      Rukun Amtsal Al-Qur’an
Orang yang pertama menyusun ilmu amtsal adalah Syaikh Abdur Rahman Muhammad bin Husain An-Naisaburi, kemudian Imam Abul Hasan bin Ali bin Muhammad Al-Mawardi, Ibnul Qayyim dan Jalaluddin As-Suyuti.
Ahli balaghah mensyaratkan bahwa tamsil itu harus memenuhi beberapa ketentuan yaitu : bentuk kalimatnya ringkas, isi maknanya mengena dengan tepat, perumpamaannya baik dan sampiran atau kinayahnya harus indah. Adapun rukun amtsal (tasybih) ada empat[7], yaitu :
a.       Wajah Syabbah
Yaitu pengertian yang bersama-sama yang ada pada musyabbah dan musyabbah bih.
b.      Alat Tasybih
Yaitu kaf, mitsil, kaanna, dan semua lafadz yang menunjukkan makna perserupaan.
c.       Musyabbah
Yaitu sesuatu yang diserupakan (menyerupai) musyabbah bih.
d.      Musyabbah bih
Yaitu sesuatu yang diserupai oleh musyabbah.
Contoh tamtsil dalam Al-Qur’an yaitu :
مَثَلُ الَّذِينَ اتَّخَذُوا مِن دُونِ اللَّهِ أَوْلِيَاء كَمَثَلِ الْعَنكَبُوتِ اتَّخَذَتْ بَيْتاً وَإِنَّ أَوْهَنَ الْبُيُوتِ لَبَيْتُ الْعَنكَبُوتِ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ (العنكبوت : ٤١)
Artinya : “Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah ialah rumah laba-laba, sekiranya mereka mengetahui”.
Wajah Syabbahnya adalah sifat kelemahan, alat tasybihnya berupa kata mitsil (مثل) yang disertai dengan kaf, musyabbahnya adalah orang musyrik dan musyabbah bihnya adalah laba-laba.
Para ahli bahasa Arab mensyaratkan sahnya amtsal harus memenuhi empat syarat, sebgai berikut :
a.       Bentuk kalimatnya harus ringkas.
b.      Isi maknanya harus mengena dengan tepat.
c.       Perumpamaanya harus baik.
d.      Kinayahnya harus indah.[8]
Jika diperhatikan beberapa amtsal al Qur’an yang disebutkan para pengarang ulum al-Qur’an yang disebutkan para pengarang ulum al-Qur’an ternyata mereka merangkum ayat-ayat al-Qur’an yang mempersamakan keadaan sesuatu dengan sesuatu yang lain, jadi beberapa amtsal al- Qur’an, tidak selalu ada asal ceritanya (musyabbah bih)nya, tidak seperti yang terdapat pada amtsal dari para ahli bahasa, para ahli bayan, dan sebagainya.
5.      Faedah-faedah Amtsal Al-Qur’an
Adapun faedah-faedah dari mempelajari Amtsal Al-Qur’an adalah :
a.       Menonjolkan sesuatu ma’qul (yang hanya bisa dijangkau oleh akal, abstrak) dalam bentuk konkrit yang dapat dirasakan indra manusia, sehingga akal mudah menerimanya, sebab pengertian-pengertian abstrak tidak akan tertanam dalam benak kecuali jika ia dituangkan dalam bentuk indrawi yang dekat dengan pemahaman. Misalnya Allah membuat matsal bagi keadaan orang yang menafkahkan harta dengan riya’, di mana ia tidak akan mendapatkan pahala sedikit pun dari perbuatannya itu,[9]
 ....فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْداً لاَّ يَقْدِرُونَ عَلَى شَيْءٍ مِّمَّا كَسَبُواْ ....(البقرة : ۲٦٤)
“Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah ia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatu pun dari apa yang mereka usahakan’. (al-Baqarah [2]:264).
b.      Menyingkapkan hakikat-hakikat dan mengemukakan sesuatu yang tidak tampak seakan-akan sesuatu yang tampak. Misalnya :
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ...... (البقرة : ۲٧۵)
“Mereka yang memakan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila”. (al-Baqarah [2]:275).
c.       Mengumpulkan makna yang menarik lagi indah dalam ungkapan yang padat, seperti amtsâl kâminah dan amtsâl mursalah dalam ayat-ayat di atas.
d.      Mendorong orang yang diberi matsal untuk berbuat sesuai dengan isi matsal, jika ia merupakan sesuatu yang disenangi jiwa. Misalnya Allah membuat matsal bagi keadaan orang yang menafkahkan harta di jalan Allah, di mana hal itu akan memberikan kepadanya kebaikan yang banyak.
e.       Menjauhkan (tanfir, kebalikan dari bagian d), jika isi matsal berupa sesuatu yang dibenci jiwa. Misalnya firman Allah tentang larangan bergunjing :
...وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضاً أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتاً فَكَرِهْتُمُوهُ.... (الحجرات : ١۲)
“Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati ? Maka tentu kamu merasa jijik kepadanya”. (al-Hujurat [49]:12).
f.       Untuk memuji orang yang diberi matsal.
g.      Untuk menggambarkan (dengan matsal itu) sesuatu yang mempunyai sifat yang dipandang buruk oleh orang banyak.
h.      Amtsal lebih berpengaruh pada jiwa, lebih efektif dalam memberikan nasihat, lebih kuat dalam memberikan peringatan, dan lebih dapat memuaskan hati. Allah banyak menyebut amtsal di dalam Al-Qur’an untuk peringatan dan pelajaran.[10]

























BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Apabila memperhatikan matsal-matsal Qur’an yang disebutkan oleh para pengarang, kita dapatkan bahwa mereka mengemukakan ayat-ayat yang berisi penggambaran keadaan suatu hal dengan keadaan hal lain, baik penggambaran itu dengan cara isti’ârah maupun dengan tasybih sarih (penyerupaan yang jelas), atau ayat-ayat yang menunjukkan makna yang menarik dengan redaksi ringkas dan padat, atau ayat-ayat yang dapat dipergunakan bagi sesuatu yang menyerupai dengan apa yang berkenaan dengan ayat itu. Sebab, Allah mengungkapkan ayat-ayat itu secara langsung, tanpa sumber yang mendahuluinya.
Orang yang pertama kali mengarang Ilmu Amtsal Al-Qur’an ialah  Syekh Abdur Rahman Muhammad bin Husein An-Naisaburi (wafat 406 H) dan dilanjutkan oleh Imam Abul Hasan Ali bin Muhammad Al-Mawardi (wafat 450 H). kemudian dilanjutkan Imam Syamsuddin Muhammad bin Abi Basrin Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyyah (wafat 754 H).
Macam-macam Amtsal dalam Al-Qur’an ada 3 macam yaitu : Amtsal yang tegas (Musharrahah), Amtsal yang tersembunyi (Kâminah), Amtsal yang terlepas (Mursalah). Rukun dari Amtsal Al-Qur’an itu sendiri ada 4 yaitu : Wajah Syabbah, Alat Tasybih, Musyabbah, dan Musyabbah bih. Faedah dari mempelajari amtsal Al-Qur’an adalah : Menonjolkan sesuatu ma’qul (yang hanya bisa dijangkau oleh akal, abstrak) dalam bentuk konkrit yang dapat dirasakan indra manusia, menyingkapkan hakikat-hakikat dan mengemukakan sesuatu yang tidak tampak seakan-akan sesuatu yang tampak, mengumpulkan makna yang menarik lagi indah dalam ungkapan yang padat, mendorong orang yang diberi matsal untuk berbuat sesuai dengan isi matsal, jika ia merupakan sesuatu yang disenangi jiwa, menjauhkan (tanfir, kebalikan dari bagian d), jika isi matsal berupa sesuatu yang dibenci jiwa, dan lain-lain.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Hasni, Muhammad bin Alawi Al-Maliki, Mutiara ILMU-ILMU AL-QUR’AN, Bandung : CV Pustaka Setia, 1999.
Ash-Shiddieqy, Fuad Hasbi, ILMU-ILMU AL-QUR’AN, Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2012.
Djalal, Abdul, Ulumul Qur’an, Surabaya : CV Dunia Ilmu, 2013.
Mudzakkir, STUDI ILMU-ILMU AL-QUR’AN, Jakarta : Pustaka Litera Antarnusa, 2012.
Syadali, Ahmad, ULUMUL QUR’AN II, Bandung : CV Pustaka Setia, 1997.



[1] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, ILMU-ILMU AL-QUR’AN, (Semarang : PT. PUSTAKA RIZKI PUTRA, 2012), 165.
[2]Manna’ Khalil al-Qattan, STUDI ILMU-ILMU AL-QUR’AN, (Bogor : Pustaka Litera Antar Nusa, 2012), 402.
[3] Manna’ Khalil al-Qattan, STUDI ILMU-ILMU AL-QUR’AN, 403.
[4] Manna’ Khalil al-Qattan, STUDI ILMU-ILMU AL-QUR’AN, 403.
[5] Abdul Djalal, Ulumul Qur’an, (Surabaya : CV Dunia Ilmu, 2013), 327.
[6] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, ILMU-ILMU AL-QUR’AN, 167.
[7] Ahmad Syadali, ULUMUL QUR’AN II, (Bandung : CV Pustaka Setia, 1997), 35.
[8]Abdul Djalal, Ulumul Qur’an, 327.
[9] Manna’ Khalil al-Qattan, STUDI ILMU-ILMU AL-QUR’AN, 409.
[10] Manna’ Khalil al-Qattan, STUDI ILMU-ILMU AL-QUR’AN, 411.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar